Definisi bahagia selalu menjadi hal yang relatif dan subjektif. Tapi pernahkah kita menyebut bahagia sebagai sesuatu yang utuh atas dasar apa yang ada dalam jiwa dan diri kita sendiri?
Selasa tanggal 30 April lalu, aku sempat datang secara langsung pada acara seminar nasional yang diadakan dalam rangka Diesnatalis UNY. Di sana datang salah satu penulis yang memang aku merasa sangat cocok dengan apa yang ditulis. Beliau Pak Fahruddin Faiz. Pembahasan kala itu adalah tentang manajemen stres, tapi semua itu tidak lepas dari bagaimana mengenal diri. Sama halnya dengan bahagia. Apa yang selalu kita cari.
Setelah hari itu akhirnya aku bisa menuntaskan buku yang kubeli sejak januari lalu. “Filsafat Kebahagiaan”, buku yang sempat menarik perhatian beberapa orang saat aku baca di stasiun, kereta, dan kafe. Terlihat berat jika dilihat dari judulnya “filsafat”. Buku yang mengantarkan aku untuk kembali mengingat beberapa part penting yang sering kali aku lupakan saat mendefinisikan bahagia, yaitu “mengenal diri sendiri”.
Buku ini menjelaskan tentang bahagia dalam konsep beberapa tokoh yaitu, Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram. Tokoh-tokoh yang sering kali aku dengar dan baca dulu semasa S1. Buku ini berintikan pendekatan tentang kebahagiaan yang aku ambil intinya terletak pada “kenal dan tahu terhadap diri sendiri”. Semua kuncinya ada di situ.
Kenal dan tahu bukan hanya sebatas nama tapi tentang isi dari jiwa kita, keinginan kita, pandangan kita, batas mampu kita, dan cara memaknai bahagia untuk diri sendiri. Bahagia yang selalu kita buru sudahkah sesuai dengan kebahagiaan yang sebenarnya kita maknai dalam hidup.
Aku menemukan banyak konsep yang menarik dan sudah sering aku pelajari (dengan bahasa teoritis yang sulit) seperti kebahagiaan a la Plato yang disebut eudaimonia (belajar psikologi positif di S2), kebahagiaan a la al-Farabi dan al-Ghazali yang dapat ditempuh dengan jihad al-nafs dan tazkiyatun nafs (belajar tasawuf di S1) dan berbagai istilah yang sangat familiar seperti qalb, nafs, dll.
Beberapa tokoh menyoroti bagaimana unsur jiwa berperan besar, pemenuhan akan apa yang dibutuhkan jiwa tidak kurang dan tidak lebih juga menjadi hal yang patut diusahakan dengan melihat apa yang dimiliki dengan perasaan cukup, selanjutnya ilmu yang dimiliki adalah salah satu jalan menuju bahagia dengan puncaknya mengenal diri.
Kali ini aku akan kutip tulisan tangan Pak Faiz di atas tanda tangannya,
“Allah menciptakan kita untuk bahagia, kitapun jangan mencari-cari alasan untuk tidak bahagia. Mari berbahagia, sekarang, di sini, seperti ini.”
-Fahruddin Faiz.
So, bahagia itu sumbernya dari diri, di sini, dan kini. Kalo masih merasa tidak bahagia mungkin yang salah adalah bagaimana kita mengenal diri kita.
Bukunya gak berat kalo bacanya enjoy, sambil lihat “oh ini ternyata alasanku ‘merasa’ tidak bahagia”. Selanjutnya, yak ayok belajar untuk bahagia dan memberi makna kebahagiaan dengan apa yang ada dalam diri kita, mengenal dan menggali segala hal yang bersifat wajar, cukup, dan baik.
Entah saat itu, atau kali ini saat menuliskan review ini aku merasa pertemuan dengan Pak Faiz selalu memberikan insight menarik. Bukunya juga. Satu hal yang aku pahami saat seminar yang sangat terkait dengan kebahagiaan yang ia sampaikan dalam bukunya, bagaimana kita mulai untuk kembali kepada diri sendiri, berkenalan dengan diri kita yang mungkin sering kita abaikan adalah separuh perjalanan menuju kebahagiaan yang nantinya membuat kita tahu bagaimana cara menyikapi diri sendiri yang sedang tertekan, cemas, dan respon kita terhadapnya.
Beri makan jiwa kita, beri makan badan kita. Itu awal dari bahagia. Mari belajar untuk menjadi cukup dan terus berkenalan dengan diri kita. Oh ya, hidup kita itu adalah perjalanan menjemput krisis kalau kata Pak Fahruddin, jadi stress itu pasti. Berbahagia di antara tidak apa-apa, secukupnya. Karena hidup ini akan selalu diliputi krisis, menunggu krisis selesai baru berbahagia adalah suatu kemustahilan.
Ingat, Allah menciptakan kita untuk bahagia!
Judul: Filsafat Kebahagiaan
Penulis: Fahruddin Faiz
Penerbit: Penerbit Mizan
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa bahagia. Itu adalah fitrah kita sebagai manusia.